Petani Rancaekek Alami Luka-luka di Kuku Diduga karena Limbah Pabrik
Limbah pabrik dari batu bara dari pabrik yang berada di Sumedang, diduga menjadi penyebab, hancurnya kuku kuku di tangan dan kaki para petani di Blok Rancakeong, Desa Linggar, Kecamatan Rancaekek.
Kuku para petani tersebut terlepas dari kaki dan tangannya sehingga kotoran limbah menempel di sela-sela kuku mereka.
Seperti halnya yang dialami Dayat (60), petani sekaligus pemilik lahan di Blok Rancakeong, Desa Linggar, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Minggu (2/9/12).
"Luka ini (kuku lepas) sudah saya alami sejak lima tahun ke belakang ini. Mungkin karena zat kimia dari limbah cair dan limbah batu bara," ujar Dayat. Dayat pun yakin petani yang ada di Linggar seperti di blok Rancagarut, Rancabogoh, Rancasirem juga mengalami hal serupa. "Rasanya sakit dan pedih. Tapi jarang saya obati. Biar saja sembuh sendiri," ujarnya.
Luka tersebut, ucap Dayat, dialaminya karena sering bersentuhan langsung dengan limbah ketika menggarap sawahnya. Ia menggunakan air dari anak Sungai Citarum, yakni Sungai Cikijing untuk mengairi sawahnya yang memiliki luas 4 hektare. "Baunya seperti bangkai. Warnanya hitam seperti aspal. Biasanya malam pabrik-pabrik itu membuang limbahnya," kata Dayat.
Dayat yang juga pemilik tanah sekaligus petani di Blok Rancakeong itu pun mengeluhkan kondisi lahannya. Lahan yang kerap ditanaminya padi itu tak lagi bisa ditanami sejak Sungai Cikijing bercampur dengan limbah.
Apalagi, kata dia, limbah yang mengalir tak hanya cairan saja, melainkan limbah batu bara juga mengalir di Sungai Cikijing. "Kalau kemarau pasti banyak lumpur mengendap di pinggir sungai," kata Dayat. Tak hanya itu, Dayat menilai, blok pertanian yang memiliki luas sekitar 100 hektare di Desa Linggar itu terancam tak bisa lagi ditanami. Warga Kampung Cipasir RT 04 RW 09, Desa Linggar, Kecamatan Rancaekek ini menyebut, banyak tanah yang warnya menjadi putih akibat limbah batu bara.
"Seperti ditaburi garam tanahnya," ujar Dayat. Itu sebabnya, di semester ini sekitar 80 persen banyak petani yang gagal panen. Selain itu, banyak petani merugi karena modal bertani sebanyak Rp 9,5 juta dipastikan tak bisa kembali.
"Dulu sebelum air tecemar pada tahun 1980, sawah saya bisa memproduksi beras 10 ton. Sekarang untuk mengembalikan modal seperti beli pupuk saja susah," ujarnya. Sekitar 15 tahun bertani, Dayat hanya menghasilkan 10 kg setiap 4X4 nya.
Dayat pun berharap, ada perhatian dari pemerintah khususnya Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung. Pasalnya, kata dia, dinas terkait itu belum pernah meninjau lokasi yang terkena dampak limbah. Lagi pula, setiap pemilik tanah termasuk Dayat selalu membayar PBB tiap tahunnya.
"Jangan hanya survei atau inspeksi ke pabrik-pabrik saja. Karena dampak langsung ke masyarakat," kata Dayat.
Sementara itu saat dikonfirmasi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Achmad Kustijadi mengatakan akan melakukan langkah langkah, dengan melaksanakan penyelidikan epidemiologi dengan invstigasi ke lap utk memastikan jenis penyakit tersebut. Dan seandainya berdasarkan waktu kejadian, tempat kejadian dan orang yang terpapar secara klinik dan epidemiologi bermakna kearah yang diduga pihaknya akan membuka posko kesehatan.
Dinkes juga akan peeriksa pasien di lapangan atau yang datang ke puskesma oleh dokter atau dokter spesialis kulit dari RSUD terdekat.
Dinkes akan juga mengambil sampel baik dari orang yang terpapar atau suspect. Juga ambil sampel media yg diduga punya kontribusi (air, alat, makanan-minuman dll).
Pihaknya juga akan terus mengawasi dengan mengirim agen environment jika memang terbukti penyebab hal ini adalah kelalalian pabrik pabrik dalam membuang limbahnya, juga akan memberikan penyuluhan kepada warga sekitar dan bahkan akan memberikan tembusan laporan kepada Bupati.
Kuku para petani tersebut terlepas dari kaki dan tangannya sehingga kotoran limbah menempel di sela-sela kuku mereka.
Seperti halnya yang dialami Dayat (60), petani sekaligus pemilik lahan di Blok Rancakeong, Desa Linggar, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Minggu (2/9/12).
"Luka ini (kuku lepas) sudah saya alami sejak lima tahun ke belakang ini. Mungkin karena zat kimia dari limbah cair dan limbah batu bara," ujar Dayat. Dayat pun yakin petani yang ada di Linggar seperti di blok Rancagarut, Rancabogoh, Rancasirem juga mengalami hal serupa. "Rasanya sakit dan pedih. Tapi jarang saya obati. Biar saja sembuh sendiri," ujarnya.
Luka tersebut, ucap Dayat, dialaminya karena sering bersentuhan langsung dengan limbah ketika menggarap sawahnya. Ia menggunakan air dari anak Sungai Citarum, yakni Sungai Cikijing untuk mengairi sawahnya yang memiliki luas 4 hektare. "Baunya seperti bangkai. Warnanya hitam seperti aspal. Biasanya malam pabrik-pabrik itu membuang limbahnya," kata Dayat.
Dayat yang juga pemilik tanah sekaligus petani di Blok Rancakeong itu pun mengeluhkan kondisi lahannya. Lahan yang kerap ditanaminya padi itu tak lagi bisa ditanami sejak Sungai Cikijing bercampur dengan limbah.
Apalagi, kata dia, limbah yang mengalir tak hanya cairan saja, melainkan limbah batu bara juga mengalir di Sungai Cikijing. "Kalau kemarau pasti banyak lumpur mengendap di pinggir sungai," kata Dayat. Tak hanya itu, Dayat menilai, blok pertanian yang memiliki luas sekitar 100 hektare di Desa Linggar itu terancam tak bisa lagi ditanami. Warga Kampung Cipasir RT 04 RW 09, Desa Linggar, Kecamatan Rancaekek ini menyebut, banyak tanah yang warnya menjadi putih akibat limbah batu bara.
"Seperti ditaburi garam tanahnya," ujar Dayat. Itu sebabnya, di semester ini sekitar 80 persen banyak petani yang gagal panen. Selain itu, banyak petani merugi karena modal bertani sebanyak Rp 9,5 juta dipastikan tak bisa kembali.
"Dulu sebelum air tecemar pada tahun 1980, sawah saya bisa memproduksi beras 10 ton. Sekarang untuk mengembalikan modal seperti beli pupuk saja susah," ujarnya. Sekitar 15 tahun bertani, Dayat hanya menghasilkan 10 kg setiap 4X4 nya.
Dayat pun berharap, ada perhatian dari pemerintah khususnya Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung. Pasalnya, kata dia, dinas terkait itu belum pernah meninjau lokasi yang terkena dampak limbah. Lagi pula, setiap pemilik tanah termasuk Dayat selalu membayar PBB tiap tahunnya.
"Jangan hanya survei atau inspeksi ke pabrik-pabrik saja. Karena dampak langsung ke masyarakat," kata Dayat.
Sementara itu saat dikonfirmasi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Achmad Kustijadi mengatakan akan melakukan langkah langkah, dengan melaksanakan penyelidikan epidemiologi dengan invstigasi ke lap utk memastikan jenis penyakit tersebut. Dan seandainya berdasarkan waktu kejadian, tempat kejadian dan orang yang terpapar secara klinik dan epidemiologi bermakna kearah yang diduga pihaknya akan membuka posko kesehatan.
Dinkes juga akan peeriksa pasien di lapangan atau yang datang ke puskesma oleh dokter atau dokter spesialis kulit dari RSUD terdekat.
Dinkes akan juga mengambil sampel baik dari orang yang terpapar atau suspect. Juga ambil sampel media yg diduga punya kontribusi (air, alat, makanan-minuman dll).
Pihaknya juga akan terus mengawasi dengan mengirim agen environment jika memang terbukti penyebab hal ini adalah kelalalian pabrik pabrik dalam membuang limbahnya, juga akan memberikan penyuluhan kepada warga sekitar dan bahkan akan memberikan tembusan laporan kepada Bupati.
0 komentar
Silahkan Berkomentar Dengan sopan :